Sabtu, 16 Mei 2015

Sepi

Sepi, aku asing
Temaram ruang-ruang yang asing
Merayapiku, bagai desau televisi mati
Aku, merasa
Alienasi ini
Merayapiku
Seperti delusi yang kupijaki
Rapuh dan fragile
Remah saja di semesta
ditiupNya aku
kebetulan – kebetulan yang ada
Terimakasih Yang mempunyaiku
Yang Ada dan Maha Ada


Dipijaki lagi tanah-tanah kelabu basah, diiringi music Bob Dylan, ia berkontemplasi. Dan warna – warna kelebat neon kian ramai, menghinggapi iris matanya dengan beragam informasi. Dan lagi – lagi ia hanyut dalam alunan musik yang suarakan kepedihan perut lapar manusia.

Ia tak berkutik, mungkin ini cuma delusi. Tapi lagi dan lagi, kelebat – kelabat visi menyerangngnya. Langsung menuju pusat sarafnya. Menjalari tulang punggungnya. Ia mengetuk – ngetukan jarinya pada meja sesuai irama.

Sekali lagi telvisi menyiarkan kerusuhan, setelah commersial break, sereal sarapan pagi yang membuat lapar. Dan secangkir kopi hangat diseduhnya dalam cangkir, dituangnya dari teko, masih panas. Dihirupnya aroma yang mebuat pikirannya terbang.

**

Dan sekali lagi ia berjalan di luar, cuaca basah sehabis hujan. Menguarkan aroma basah tanah dan rerumputan hijau. Tanah basah sehabis hujan yang lembab, menyimpan beragam hara bagi tetumbuhan. Di atas sana pelangi bersemburat di langit, titik – titik biang hujan yang yang berpendar oleh sinar mentari yang bersembunyi di balik mega.

Dan sekali lagi ritme kota ini telah menhampiriku dan digandengnya aku untuk menari bersamanya. Ya, seperti detak jam yang ritmis dan teratur. Aku berontak, lebih baik kuikuti deru angin pagi yang segar. Yang membawa serta benih – benih nurani yang tumbuh dalam jiwa – jiwanya. Dan aku merasa tak ‘mati’

Dan tanpa terasa aku merasa menjadi angin itu, yang membawa perubahan. Perlahan desau itu lenyap, ia seperti menguap saja. Dan seperti benih – benih bunga, angin itu telah meresap. Seperti sebuah kata – kata yang kuketikan kini, yang menyublim dan hilang. Tapi ia tak lenyap, ia menjadi untaian – untaian mantra yang mengalun diselingi tasbih dan denting genta bel.

***

Kucoreti kanvas dengan kemarahan, aku tahu nggak akan bisa menghapus bayangnmu. Tapi setidaknya akan dapat kukeluarkan itu dalam lukisan. Rasa sakit yang membuatku muak, seakan telah menggerogoti energi hidupku. Kucampurkan warna – warna yang nyalang, aku tak peduli kucampur dengan nuansa pedih dari merah, violet, jingga dan ungu. Kuteriakan segenap kata kedalam lukisan ini, terserah orang mau jengah menatapnya aku nggak peduli. Dan malam semakin larut.

Angin dingin malam telah mulai datang, aku nggak peduli. Kuteguk minuman dan kumulai lagi. Ingin keselesaikan lukisan ini. Setiap goresan adalah emosiku, kadang lirih kadang tegas. Kukeluarkan segenap amarah dan emosiku. Kurasakan kelegaan yang menguar, seperti kabut tipis yang menguap dari tubuhku, diterbangkan angin pergi.

Kamis, 30 April 2015

Sinkronisitas

Pic from wikipedia

Synchronicity is the phenomenon of experiencing two or more events as meaningfully related, though they are unlikely to be causally related. The are perceived as a "meaningful coincidence", although the events need not be exactly simultaneous in time. A concept of synchronicity was first proposed by Carl Gustav Jung, a Swiss psychologist, in the 1920s. The concept does not question, or compete with, the notion of causality, but rather maintains that just as events may be connected by a causal relationship, they may also be connected by meaning without clear causal relationships — a grouping of events by meaning need not have an explanation in terms of cause and effect. (http://en.wikiquote.org/wiki/Synchronicity)

Baru saya menyadari tentang hal ini. Sikronisitas atau Synchronicity adalah sebuah kebetulan ataupun peristiwa yang tidak ada hubungan sebab akibat tapi saling terhubung secara arti dan persepsi. (http://www.lambangmh.com/2012/07/synchronicity.html).

Bagi saya sikronisitas adalah cara para psikolog (terutama Carl Gustav Jung sebagai pencetusnya, untuk menjelaskan kesamaan - kesamaan yang ada dalam kehidupan manusia). Walaupun dalam sudut pandang agama saya merasa hal itu bukan merupakan sebuah "kebetulan" karena semua kejadian yang memang diatur oleh Allah. Itu mungkin dahulu yang para nenek moyang manusia menamakannya visi, intuisi, firasat atau apapun. Bagi saya dunia sosial dan kehidupan adalah sebuah sebuah ruang - ruang yang memang diatur oleh "kebetulan - kebetulan" Tuhan.

Entah kenapa saya seperti mengalaminya saat ini, bagi Jung dan para psikolog lainya itu mungkin dinamakan sinkronisitas tapi bagi saya, Tuhan sedang mengatur sesuatu untuk saya. Pertemuan dengan manusia - manusia, pribadi - pribadi, sahabat baru, teman seperjalanan, rekan sesama kepelatihan menyadarkan saya akan "kebetulan - kebetulan" yang diantarkan ole Do'a saya kepadaNya.

Bagi saya pengalaman yang mengantarkan saya sampai saat ini, sungguh tidak dapat diceritakan, semuanya itu saya rasa menjadi semacam serpihan - serpihan yang akan menjadi sebuah gambar besar yang akan menyatu nantinya.

Entah akan menjadi apa ini, membawa saya kepada kemungkinan - kemungkinan baru yang terbuka, bagi saya pengalamanya saling melengkapi tapi gambar besarnya akan terbuka pada waktunya.

Kamu pernah mengalaminya, jalani saja, bagi saya itu berarti Tuhan masih menyayangi dan sedang mengatur sesuatu dalam kehidupanmu.