Temaram ruang-ruang yang asing
Merayapiku, bagai desau televisi mati
Aku, merasa
Alienasi ini
Merayapiku
Seperti delusi yang kupijaki
Rapuh dan fragile
Remah saja di semesta
ditiupNya aku
kebetulan – kebetulan yang ada
Terimakasih Yang mempunyaiku
Yang Ada dan Maha Ada
Dipijaki lagi tanah-tanah kelabu basah, diiringi music Bob Dylan, ia
berkontemplasi. Dan warna – warna kelebat neon kian ramai, menghinggapi iris
matanya dengan beragam informasi. Dan lagi – lagi ia hanyut dalam alunan musik
yang suarakan kepedihan perut lapar manusia.
Ia tak berkutik, mungkin ini cuma delusi. Tapi lagi dan
lagi, kelebat – kelabat visi menyerangngnya. Langsung menuju pusat sarafnya.
Menjalari tulang punggungnya. Ia mengetuk – ngetukan jarinya pada meja sesuai
irama.
Sekali lagi telvisi menyiarkan kerusuhan, setelah commersial
break, sereal sarapan pagi yang membuat lapar. Dan secangkir kopi hangat
diseduhnya dalam cangkir, dituangnya dari teko, masih panas. Dihirupnya aroma
yang mebuat pikirannya terbang.
**
Dan sekali lagi ia berjalan di luar, cuaca basah sehabis
hujan. Menguarkan aroma basah tanah dan rerumputan hijau. Tanah basah sehabis
hujan yang lembab, menyimpan beragam hara bagi tetumbuhan. Di atas sana pelangi
bersemburat di langit, titik – titik biang hujan yang yang berpendar oleh sinar
mentari yang bersembunyi di balik mega.
Dan sekali lagi ritme kota ini telah menhampiriku dan
digandengnya aku untuk menari bersamanya. Ya, seperti detak jam yang ritmis dan
teratur. Aku berontak, lebih baik kuikuti deru angin pagi yang segar. Yang
membawa serta benih – benih nurani yang tumbuh dalam jiwa – jiwanya. Dan aku
merasa tak ‘mati’
Dan tanpa terasa aku merasa menjadi angin itu, yang membawa
perubahan. Perlahan desau itu lenyap, ia seperti menguap saja. Dan seperti
benih – benih bunga, angin itu telah meresap. Seperti sebuah kata – kata yang
kuketikan kini, yang menyublim dan hilang. Tapi ia tak lenyap, ia menjadi
untaian – untaian mantra yang mengalun diselingi tasbih dan denting genta bel.
***
Kucoreti kanvas dengan kemarahan, aku tahu nggak akan bisa
menghapus bayangnmu. Tapi setidaknya akan dapat kukeluarkan itu dalam lukisan.
Rasa sakit yang membuatku muak, seakan telah menggerogoti energi hidupku.
Kucampurkan warna – warna yang nyalang, aku tak peduli kucampur dengan nuansa
pedih dari merah, violet, jingga dan ungu. Kuteriakan segenap kata kedalam
lukisan ini, terserah orang mau jengah menatapnya aku nggak peduli. Dan malam
semakin larut.
Angin dingin malam telah mulai datang, aku nggak peduli.
Kuteguk minuman dan kumulai lagi. Ingin keselesaikan lukisan ini. Setiap
goresan adalah emosiku, kadang lirih kadang tegas. Kukeluarkan segenap amarah
dan emosiku. Kurasakan kelegaan yang menguar, seperti kabut tipis yang menguap
dari tubuhku, diterbangkan angin pergi.